Minggu, 09 November 2008

Remaja Membutuhkan Pendidikan Reproduksi

*MASA pancaroba bagi remaja disebut-sebut sebagai periode yang susah-susah gampang bagi orangtua untuk menanganinya. Kebanyakan orangtua mengakui bahwa memberi bekal untuk remaja putri agar mereka mampu menghadapi berbagai gejolak kehidupan sebenarnya tidaklah mudah.

Meski orangtua sudah bersusah payah menyediakan berbagai fasilitas, termasuk pendidikan yang terbaik untuk anak putri mereka, namun toh orangtua takkan sanggup menghindari godaan dunia yang semakin menghadang kehidupan remaja global sekarang ini.

Perkembangan teknologi komunikasi yang menyebar berbagai informasi dan hiburan budaya pop, kini semakin deras dan takkan mungkin bisa dibendung hanya dengan mengurng anak di rumah atau dengan menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah.

Sesuai dengan perkembangannya, anak-anak putri masa kini tak mungkin dipingit seperti cerita novel Siti Nurbaya, karena kehidupan menuntut mereka untuk tampil lebih luwes dan lebih bergaul dengan dunia luar. Dengan demikian, berbagai acara darmawisata, diskotik, nonton, ikut klub olahraga, sudah menjadi bagian acara rutin remaja.

Hampir semua remaja di belahan dunia mana pun sekarang ini berada dalam situasi yang penuh godaan dengan semakin banyaknya hiburan di media yang menyesatkan.

Dengan informasi yang terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, mereka sudah dihadapkan pada berbagai godaan seperti film-film Barat yang menawarkan nilai-nilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya Timur.

Itu sebabnya, seorang kepala SMU favorit di Jakarta sangat terperanjat ketika mengetahui ada siswi yang terlibat dalam 'transaksi seks' hanya karena dorongan seks semata bukan uang atau kebutuhan materi lainnya.

Namun yang jelas dari berbagai data empiris yang ada, sebenarnya anak-anak remaja putri itu sangat membutuhkan pendidikan seks yang benar. Diakui, sebagian besar masyarakat memang masih meragukan manfaat pendidikan seks itu bagi remaja putri, namun dengan melihat semakin membangkaknya jumlah remaja yang hamil di berbagai belahan dunia, maka pandangan yang masih ragu-ragu itu agaknya perlu segera menyadarinya.

Kehamilan tak diharapkan:

Data terakhir, sekitar 60 persen kelahiran anak di kalangan remaja di dunia adalah kehamilan yang tak diharapkan. Satu di antara remaja usia 19 tahun tidak mempunyai akses untuk mendapat kontrasepsi.

Lebih dari dua pertiga wanita di negara berkembang mendapat pendidikan kurang dari sembilan tahun, demikian laporan Alan Guttmacher Institute, suatu lembaga penelitian kesehatan nonprofit.

"Kehidupan anak-anak muda ini sungguh mengenaskan," ujar Jeannie Rosoff, presiden lembaga tersebut.

"Sebagian remaja outri itu terpaksa drop out, karena harus segera menikah, dan sebagian lagi mengalamai eksploitasi seks. Namun banyak diantaranya yang tidak ingin menyerah pada nasib, dan berusaha untuk bangkit mengatasi hidupnya," tambahnya.

Ia menyatakan temuannya itu sebagai hasil perbandingan statistik dari 53 negara di seluruh dunia dengan jumlah penduduk sekitar 75 persen dari seluruh penduduk dunia.

Ditemukan, bahwa remaja putri di negara berkembang yang terpaksa keluar dari sekolah, sudah melakukan hubungan seks di bawah usia 20 tahun, menikah muda dan tidak pernah menggunaakan kontrasepsi.

Oleh sebab itu, menurut para akhli, hanya dengan pendidikanlah untuk dapat menyelamatkan remaja putri di seluruh dunia. "Terbukti, anak-anak yang menikah muda ternyata menurun tajam di negara-negara yang dengan serius memperhatikan pendidikan dengan menyediakan akses cukup untuk mendapat pendidikan, sosial, kesehatan," demikian dilaporkan lembaga itu.

"Masih di negara berkembang, banyak wanita sudah mempunyai anak pertama pada usia di bawah 18 tahun, sementara wanita-wanita di desa-desa dengan pendidikan tidak menyukai kontrasepsi, dan hampir semuanya terpaksa melahirkan dan menemui risiko kehamilan yang cukup gawat," demikian laporan itu.

Namun masalah ini sebenarnya bukan urusan negara berkembang saja. Di Amerika Serikat, tujuh di antara 10 remaja yang melahirkan adalah kelahiran yang tak diinginkan.

Jika mereka mampu menunda beberapa tahun saja untuk punya anak atau keluarga, mungkin jumlah anak akan lebih sedikit dan dapat menghindari resiko kehamilan muda, bahkan mungkin mampu menjadi anggota masyarakat yang lebiuh produktif.

Bekal iman, pendidikan, pergaulan yang sehat, serta hubungan yang mesra antara orangtua dengan anak serta keterbukaan dalam ekeluarga merupakan bekal yang amat berharga bagi remaja putri agar mereka dapat meniti kehidupan dengan selamat. (anspek/O-1)

sumber:Media Indonesia Online, 23 November 2003

Remaja dan Aspek Psikososial

Banyak yang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah (duh... seperti di dalam lagi ya) karena di masa remaja banyak perubahan yang kita alami, mulai dari perubahan fisik sampai psikologi. Dan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk masyarakat.

Segala macam aspek hubungan sosial dengan kawan, orangtua, ataupun guru bisa disebut dengan aspek psikososial.

Masa remaja yang kita alami ini merupakan suatu periode dalam rentang kehidupan manusia, mau atau tidak mau pasti kita mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Kita yang berada di masa remaja ini juga belajar meninggalkan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan kita mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru orang dewasa. Selain itu, kita yang remaja ini juga dihadapkan pada tuntutan yang terkadang bertentangan, baik dari orangtua, guru, teman sebaya, maupun masyarakat di sekitar. Kita bisa-bisa menjadi bingung karena masing-masing memberikan tuntutan yang berbeda-beda tergantung pada nilai, norma, atau standar yang digunakan.

Intinya aspek psikososial bisa didefinisikan sebagai aspek yang ada hubungannya dengan kejiwaan kita dan sosial. Kejiwaan tentu saja berasal dari dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar (eksternal). Kedua aspek ini sangat berpengaruh kala masa pertumbuhan kita.

Kadang yang lebih berpengaruh justru bukan aspek kejiwaan, melainkan aspek eksternal. Misalnya, media massa membangun imej remaja putri yang oke adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing, dan berpayudara besar. Demi mengejar body image seperti itu, banyak yang termakan dan berusaha menjadi imej seperti yang dikatakan di media massa.

Sudah saatnya perubahan diri terjadi bukan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri karena seharusnya aspek psikososial berlangsung secara seimbang. Pengaruh dari luar harusnya mampu mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik. Dengan kondisi ini, diharapkan interaksi aspek psikologi dan sosial dapat menjadi positif, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pembentukan identitas diri kita.


Penulis: Yahya Ma'sum PKBI Pusat
Waktu terbit: Jumat, 17 November 2006
Sumber: Harian Kompas
Waktu akses: Rabu, 29 Oktober 2008

Perlu Pendidikan Seks Sedini Mungkin

Untuk mengurangi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia perlu dilakukan pendidikan seks sejak usia dini. Karena tanpa pendidikan seks kampanye penggunaan kondom yang begitu gencar selama ini tidak akan efektif. Demikian dikatakan Baby Jim Aditya, aktivis HIV/AIDS.

''Di Indonesia masyarakatnya tidak dibiasakan mendapatkan pendidikan seks sejak kecil. Pendidikan seks yang tiba-tiba saja tidak akan efektif. Paradigma itu harus diubah. Sering kali kita mengajari anak menyebutkan nama anggota tubuh, tetapi payudara dan alat kelamin tidak pernah disebutkan karena dianggap tabu, apalagi bicara kondom,'' ujar Baby.

Padahal sejak lahir, kata Baby, anak-anak telah memiliki alat seksualitas yang melekat pada diri mereka. Apabila sejak kecil pikiran anak telah dirancang dengan baik dan stabil, mereka akan mudah menerima kampanye penggunaan kondom.

''Kampanye HIV/AIDS di Indonesia pun belum begitu spesifik karena banyak sekali masalah yang dihadapi sehingga tidak bisa terfokus pada satu hal.''

Itulah sebabnya, lanjutnya, penanganan HIV/AIDS di Thailand lebih sistematik dibandingkan dengan Indonesia. Di sana, kata Baby lagi, terdapat sekolah dan rumah sakit khusus.

Menurutnya, di Thailand terdapat dua rumah sakit khusus HIV/AIDS. Rumah sakit pertama mampu menampung 4.000 pasien, dan yang kedua 10.000 pasien. Untuk rumah sakit yang kedua khusus ditangani oleh para bhiksu.

Baby menjelaskan bahwa penularan HIV/AIDS bisa terjadi pada keluarga yang tidak memiliki risiko tinggi terkena HIV/AIDS. ''Saya punya pasien pengguna narkoba jarum suntik sejak 1997. Ia selain terkena HIV, hepatitis C dan melakukan hubungan seks yang tidak aman. Ia kemudian memiliki pacar yang sama sekali bersih. Lalu ketika menikah nanti si lelaki ini dengan sadar melakukan penularan melalui hubungan seks.''

Menurut Baby, istri atau pacar sering kali menurut apa kata pasangannya karena posisi tawarnya cukup rendah. ''Karena sering kali kalau istri menolak berhubungan seks tidak aman dengan suaminya dituduh telah berselingkuh. Nah, kalau suami sakit kemudian istri juga tertular bagaimana dengan anak-anaknya?''

Oleh sebab itu, kata Baby yang baru saja kembali dari Thailand, perempuan merupakan makhluk paling berisiko tertular HIV/AIDS. Karena ketika suaminya sakit, istri akan merawat dengan penuh kasih sayang. Bahkan, sering kali dalam merawat pasien HIV ini, istri atau pacar tidak menggunakan pengaman, seperti sarung tangan atau masker, sehingga ketika ada luka istri dengan mudah akan terinfeksi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan LSM, jumlah penderita HIV di Indonesia cukup signifikan. Pada 2001 tercatat 1,1 persen dari 600 ibu hamil terinfeksi HIV/AIDS dan pada 2002 meningkat menjadi 3%.

Data Depkes sendiri mengenai penderita HIV/AIDS sebanyak 120-150 ribu pasien. Namun, ada data lain yang menyebutkan sudah mencapai 500 ribu pasien.

Oleh sebab itu, kata Baby, perlu dibuat shelter untuk penderita HIV/AIDS. ''Di bidang pendidikan perlu ada sekolah yang menyediakan klinik, karena anak-anak penderita HIV/AIDS tidak memiliki kekebalan tubuh sehingga cepat lemas. Usaha semacam ini harus terus diperjuangkan seperti yang telah dilakukan Thailand.'' (Nda/V-1)


Penulis: Nda
Waktu terbit: Kamis, 8 April 2004
Sumber:
Media Indonesia Online
Waktu akses: Rabu, 29 Oktober 2008


Konsepsi yang Salah mengenai Penggunaan Kondom

Studi ini ingin mengetahui tentang prevalensi dari tiga konsepsi yan salah penggunaan kondom yang sering terjadi dan apakah ada variasi terhadap gender, pengalaman hubungan seks, dan penggunaan kondom.

Data dari National Longitudinal Study of Adolescent Health (ADD Health) menganalisa prevalensi dari konsepsi yang salah pada 16,667 remaja usia 15-21 tahun yang ikut serta dalam pengisian kuesioner yang dikirim melalui pos pada April dan December 1995.

Untuk mengetahui prevalensi konsepsi yang salah akan penggunaan kondom dan untuk menilai hubungan antara konsepsi yang salah, responden dibagi menjadi tiga kelompok: remaja yang pernah melakukan hubungan seks dan pernah memakai kondom minimal satu kali, remaja yagn sudah pernah melakukan hubungan seks dan belum pernah pakai kondom, dan remaja yang belum pernah hubungan seksual.

Hasil Penelitian Umum

  • 47% responden sudah pernah melakukan hubungan seksual.
  • Dari responden yang penah melakukan hubungan seksual, 28% menggunakan kondom minimal sekali.
  • Dari responden yang pernah melakukan hubungan seksual, 29%nya mengaku punya pasangan seksual paling sedikit sudah 4 orang.

Konsepsi Salah dalam Penggunaan Kondom

Responden ditanya untuk menjawab pernyataan-pernyataan sebagi “benar” atau “salah”. “Ketika memakai kondom, sangat penting memakainya secara ketat, tidak boleh ada sisa ruang di bagian ujung”.

  • 33% responden perempuan dan 40% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan pernah memakai kondom minimal satu kali, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 35% responden dan 39% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan tidak pernah pakai kondom, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 51% responden perempua dan 45% laki-laki yang tidak pernah hubungan seksual teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.

“Vaseline bisa digunakan dengan kondom, dan akan bekerja dengan baik”

  • 28% responden perempuan dan 34% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan pernah memakai kondom minimal satu kali, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 27% responden dan 32% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan tidak pernah pakai kondom, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 33% responden perempua dan 35% laki-laki yang tidak pernah hubungan seksual teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.

"Kondom dari Kulit alami (kulit kambing) memiliki pelindungan lebih baik dalam mencegah virus AIDS dibandingkan kondom dari lateks.”

  • 16% responden perempuan dan 24% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan pernah memakai kondom minimal satu kali, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 18% responden dan 21% laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dan tidak pernah pakai kondom, teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.
  • 20% responden perempua dan 23% laki-laki yang tidak pernah hubungan seksual teridentifikasi menjawab salah, dengan menjawab benar pada pernyataan di atas.

Peneliti juga memeriksa apakah ada hubungan antara perilaku remaja dengan pengetahuan yang benar tentang penggunaan kondom. Hasilnya ternyata tidak ada hubungan antara perilaku dan pengetahuan yang benar tentang penggunaan kondom.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa program pendidikan seksualitas dan HIV/PMS untuk remaja berbasis sekolah, tidak adekuat dalam menjelaskan prosedur penggunaan kondom yang benar. Penulis menekankan bahwa penjelasan tentang pemakaian kondom yang benar hanya menjangkau sedikit remaja.

Penulis merekomendasikan dalam rangka membuat remaja muda dapat melindungi diri mereka sendiri terhadap PMS/HIV dan kehamilan, mereka perlu informasi yang lengkap tentang pencegahan. Pendidik tidak boleh hanya menjelaskan pentingnya memakai kondom untuk pencegahan PMS dan kehamilan tapi mereka juga harus memberikan informasi bagaimana menggunakan secara benar.

For more information: R.E. Crosby and W.L. Yarber, "Perceived versus Actual Knowledge about Correct Condom Use among U.S. Adolescents: Results from a National Study," Journal of Adolescent Health, vol. 28, no. 5, pp. 415-20.


Penulis: AN
Waktu terbit: 29 Juni 2001
Sumber:
SHOP Talk: School Health Opportunities and Progress Bulletin Volume 6, Number 8
Waktu akses: Rabu, 29 Oktober 2008

Remaja Juga Rentan Terkena HIV/ AIDS

Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada tahun 1987, angka pertumbuhan pengidap HIV/AIDS enggak kunjung turun. Yang lebih mencengangkan, ternyata remaja selalu menempati ranking pertama sebagai kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan dengan kelompok usia lain.

Bagi kita yang tergolong rentan tertular HIV/AIDS seperti berita di atas, tentu akan bertanya-tanya, Kenapa harus kita yang remaja? Jawaban pertanyaan tersebut sederhana saja, tapi enggak sederhana upaya penanganannya.

Selama ini, banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa banyak tingkah laku atau perbuatan kita yang sangat berisiko tertular HIV/AIDS. Misalnya saja seks di luar nikah. Masih banyak di antara kita yang berpandangan bahwa seksualitas hanya masalah perawan atau enggak perawan. Padahal, hubungan seks di luar nikah cukup besar risikonya untuk menjadi hubungan seks yang enggak aman meskipun dilakukan dengan pacar sendiri.

Hubungan seks yang enggak aman bisa menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD). KTD sendiri kelak bisa menimbulkan masalah lain, baik fisik, sosial, maupun mental. Risiko lain dari hubungan seks seperti ini adalah terkena infeksi menular seksual (IMS) yang dapat menyebabkan kemandulan dan makin membuat kita rentan terhadap HIV/AIDS.

Ketidaktahuan kita terhadap perilaku kita sendiri yang berisiko tertular HIV/AIDS inilah yang justru memicu kemungkinan untuk tertular dan bahkan menyebarkan HIV/AIDS di kalangan teman-teman kita. Meskipun begitu, kita memang bukan satu-satunya pihak yang dianggap paling bersalah.

Akses Informasi

Wajar aja sih, kalau kita belum tahu banyak soal kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Maklum, akses informasi tentang kedua hal ini, termasuk masalah pelayanan konsultasi dan medis tentang hal tersebut, masih sangat terbatas. Kalaupun ada, terkesan kurang akrab buat kita. Akibatnya, kita mencoba mencari informasi di media lain yang kurang mendidik, seperti media seks pornografi.

Di kalangan kita, setidaknya ada tiga kelompok penting yang paling dekat dengan kehidupan kita, yaitu guru, ortu, dan teman-teman. Sayangnya komunikasi dengan ketiga pihak tersebut belum sepenuhnya optimal. Apalagi yang berkenaan dengan masalah seksualitas. Ada beberapa hal yang menyebabkannya.

Pertama, masih banyak ortu yang membatasi pembicaraan seksualitas dengan berbagai alasan. Seksualitas dianggap sebagai masalah tabu untuk dibicarakan. Akhirnya kita gagal mendapatkan informasi dari ortu yang seharusnya menjadi sumber informasi paling dekat dengan kita.

Kedua, masih ada guru yang cara berkomunikasinya cenderung kaku dan enggak terbuka. Padahal, guru memiliki segudang informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. Beda dengan guru yang youth friendly. Pasti mereka bisa menjadi tempat curhat.

Ketiga, sebagian besar dari kita menganggap hubungan dengan teman adalah yang paling ideal sehingga lebih enak diajak berbicara masalah apa pun. Sayangnya, informasi dari teman sering enggak proporsional dan keliru.

Budaya permisif

Meski kita bukan satu-satunya penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di lingkungan kita, tetapi budaya serba boleh (permisif) di kalangan kita mendorong perilaku seks enggak aman dan narkoba semakin meningkat. Dampaknya terlihat dari tingginya kasus HIV/AIDS tersebut, di mana penularan HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual yang enggak aman dan pemakaian narkoba dengan jarum suntik.

Dalam diskusi dengan beberapa teman kadang muncul pernyataan terang-terangan, ...Ah, pacaran kalo cuma gandengan doang mah garing, enggak ciuman enggak asyik, lagi. Temen-temen juga sudah banyak kok yang sudah gituan (berhubungan seks Red). Gue nganggepnya fine-fine aja tuh.

Dari sisi kesehatan saja pernyataan tersebut sudah enggak benar, apalagi dari sisi norma agama dan norma sosial. Kalau cara pandang kita terhadap perilaku seksual semakin permisif, mustahil rasanya angka pengidap HIV/AIDS di kalangan kita akan menurun.

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menyikapi hal ini.

  • Buat media informasi tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS di sekolah, seperti mading, buletin, atau kelompok diskusi kecil yang membahas masalah kesehatan reproduksi maupun HIV/AIDS dan narkoba.
  • Bangun komunikasi dengan ortu dan guru dalam suasana yang lebih terbuka. Kita jadi enggak ragu untuk menjadikan mereka tempat bertanya, sekaligus jadi tempat curhat.
  • Jauhkan diri dari tindakan atau perilaku yang bisa dikategorikan berisiko terhadap HIV/AIDS, baik terhadap kita sendiri maupun bersama teman-teman lain.

Penulis: Heri Susanto
Waktu terbit:Jum'at, 15 Juli 2005
Sumber: Harian Kompas
Waktu akses: Rabu, 29 Oktober 2008